Senin, 23 November 2015

AKU PETUALANG

Aku berdiri dengan tegap di depan pintu rumah. Bahan yang diperlukan sudah dibungkus Ibuku dengan baik menggunakan kain berwarna cokelat dan sudah melekat di punggungku. Kata Ibu ini benda berharga dan harus kujaga dengan baik. Aku menatap pedangku masih berkilauan dan tajam, segera kusarungkan lagi pedangku lalu kuikat di pinggangku. Hah! Perjalanan ini sangat berbahaya aku harus kuat menghadapinya. “Ibu, Ayah tolong doakan aku.” Aku menoleh dengan sedih menatap pintu rumah.
Aku pun lalu berjalan sambil melihat peta yang diberikan Ayah. Petanya kelihatan rumit. Hari ini pertama kalinya aku dipercaya orangtuaku melakukan tugas berat karena sudah dewasa. Aku berusaha sejeli mungkin melihat keadaan sekitar sambil memegang gagang pedang.
“Jaka, mau pergi ya?” suara teriakan berasal dari sebuah rumah.
Aku terkejut, ternyata yang memanggil adalah Bibi tetangga tidak jauh dari rumah. Aku segera tersenyum dan memberi salam dengan sopan.
“Ya Bibi. Saya mau pergi ke suatu tempat diberi tugas Ayah mengantarkan ini.” Kataku sambil menunjukkan kain coklatku.
“Ya ampun di luar kan berbahaya. Tahu tempatnya?” Bibi mendekatiku. Langsung kuberikan peta Ayah kepadanya.
“Wah ini jauh sekali. Jaka memang berani sekali” Kata Bibi sambil mengusap kepalaku.
“Tunggu sebentar.” Bibi masuk ke dalam rumahnya. Tak lama Bibi keluar sambil membawa bungkusan berisi ayam.
“Ini bawalah kau pasti lapar dalam perjalanan.” Aku segera berterima kasih dan setelah mengucapkan selamat tinggal aku melanjutkan perjalanan.
Aku menyusuri jalan setapak yang menurun. Oh, aku ingat jalan ini kalau tidak salah di dekat sini ada binatang buas. Aku segera waspada. Kukeluarkan pedangku dari sarungnya.
AAUWWW!!!
Suara raungan! Tanganku gemetaran kencang. Benar saja segerombol binatang buas sudah berkumpul di depanku, siap menyerangku. Apa yang harus kulakukan jumlahnya lebih dari satu. Jika saja cuma seekor aku bisa mengusirnya dengan pedang ini. Oh, iya aku punya ide. Kukeluarkan ayam dari Bibi, lalu kulemparkan sejauh mungkin. Lalu aku berlari sekencang-kencangnya meninggalkan para binatang itu yang berebut ayam. Óh. Syukurlah aku lolos, kadang otak memang lebih diperlukan daripada otot.
Aku melanjutkan perjalanan, kakiku sudah tidak bertenaga dan susah diajak berkerjasama. Kantong di pundakku sudah serasa lebih berat 2 kali lipat dari awal kubawa tadi. Tapi aku berjalan meski napas tersenggal-senggal. Godaan untuk beristirahat datang tapi aku harus tetap bersemangat karena rumah yang kutuju sudah dekat. Aku terus menyuri jalan sambil mengecek peta. Lalu aku melihat sesuatu yang tidak biasa di depanku.
Seorang raksasa berdiri di depan jalan tujuanku. Tinggi raksasa itu 3 kali lipat dari tinggiku dengan kumis dan jenggot tebal kusut karena tidak terurus. Dia membawa tongkat besar yang dipukul-pukulkan ke tangannya. Dia menyeringai melihatku seperti melihat makanan yang lezat. Apa yang kulakukan? Jika aku harus mengalihkan perhatian, ayamnya sudah habis. Terpaksa aku harus bertarung dengannya. Aku yakin aku lebih lincah dan gesit.
Aku mengambil ancang-ancang menyerang. Kutarik pedangku dari sarungnya. Dia berlari sambil mengarahkan tongkatnya kepadaku tapi segera kutangkis dengan pedang. Dia terus menyerangku dengan pukulan asal-asalan. Karena gerakannya yang lambat, aku berhasil menangkisnya dengan baik. Tapi kalau aku bertahan terus aku yakin akan kalah karena kelelahan. Aku menghitung dalam hati berapa detik yang dia perlukan untuk melancarkan serangannya. 5 detik! Setelah raksasa itu menganyunkan tongkatnya ke belakang aku segera menghindar ke samping, lalu menusuknya dari belakang.
ARGGHHHH!!!
Teriakan raksasa itu menyakitkan gendang telingaku. Aku segera mencabut pedangku. Sisa tenagaku lalu kupakai untuk berlari sekencang-kencangnya. Hufht! Aku berjalan terseok-seok karena kelelahan. Sampai akhirnya aku sampai di rumah yang kutuju. Kuketuk pintunya dengan lemas.
“Siapa? Oh, Jaka.” Iris, sepupuku, membukakan pintu.
“Mana Tante, Di..” Kataku kelelahan.
Aku lalu diantar ke dalam. Tante Di kegirangan melihatku.
“Jaka hebat. Jaka datang sendiri?” Tante Di lalu mengambil kain di punggungku. Kantong itu berisi baju oleh-oleh dari Ibuku dari luar kota.
Aku mengangguk kencang, langsung menyambar minuman dingin yang dibawa Mbak Iris dengan kedua tangan, lalu meminumnya sampai habis.
“Jaka di perjalanan tadi bertarung dengan binatang buas dan raksasa.” Kataku dengan sombong.
“Oh, benarkah?” mata Mbak Iris terlihat kagum padaku.
“Maksudnya anjing kompleks sama Pak Aji ya?” bisik Tante Di pada Iris.
“Ya, Pak Aji emang seneng main-main sama anak kecil. Hihihi” Iris berbisik sepelan mungkin pada Ibunya.
“Jaka kelas berapa sekarang?” Om Agus bertanya padaku tapi matanya tidak lepas dari TV.
“Nol besar Om.” Kataku bangga.

Related Posts

AKU PETUALANG
4/ 5
Oleh