Senin, 23 November 2015

MISTERI KERETA TUA

MISTERI KERETA TUA

Riski bangun salat subuh!” perintah Nenek Riski.
“iya nek” jawab Riski.
Riski adalah seorang anak yatim piatu yang tinggal bersama Neneknya, Riski menjadi yatim piatu sejak dia berumur 3 tahun karena kedua orangtuanya meninggal dikarenakan kecelakaan. Sejak kejadian itu Riski tinggal bersama Neneknya.
Pagi itu seperti biasa Riski setelah salat subuh Riski membatu Neneknya dan bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Setelah siap semua tugasnya Riski pun berangkat ke sekolah. Di jalan dia bertemu dengan sahabat-sahabat karibnya yang bernama Amel, Rudi dan Rina. Mereka bersahabat sejak sebelum sekolah dan mereka selalu bersama di saat suka dan duka.
Pada suatu sore Riski duduk sendiri di teras rumah sambil melamun. Dia memikirkan salah satu impiannya yaitu memberangkatkan Neneknya ke tanah suci.
“der kok kamu melamun ris.” kata Rudi mengejutkan Riski.
“kamu ni rud buat kaget aku aja” kata Riski.
“habis kamu melamun sih. Emang apa sih yang kamu pikirkan sampai kamu sering melamun?” Tanya Rudi.
“gini rud aku punya keinginan memberangkatkan Nenekku naik haji, tapi kayaknya mustahil deh rud. Untuk makan aja susah” jelas Riski.
“oh kalau cuma itu sih mungkin ajar ris asalkan kita berusaha dan berdoa” jelas Rudi.
“ya udah yok kita ke lapangan bertemu dengan yang lain.” Ajak Rudi.
“ya udah yuk” jawab Rudi.
Riski dan Rudi pun pergi bermain dengan kawan yang lainnya. Sesampai di lapangan mereka pun bermain dengan suka cita. Tak terasa hari pun mulai senja.
“ayo kita pulang bentar lagi adzan” kata Rina kepada teman temannya. Mereka pun pulang ke rumah mereka masing-masing. Di perjalanan saat mereka mau pulang, tiba-tiba mereka menemukan tas yang berisi uang, beberapa kartu atm dan surat surat penting yang mereka tidak ketahui.
“wah rezeki kamu ni ris. Lihat tuh uangnya banyak” kata Rudi.
“jangan ris ini bukan hak kita, kita harus cari permilik” kata Rina.
“bener tuh, kita harus cari permiliknya, apalagi di dalamnya banyak surat penting” sambung Amel.
“benar juga kata kalian berdua, ya udah yuk kita pulang sambil cari permiliknya” kata Riski.
Tiba tiba mereka melihat seorang Bapak-bapak yang sedang mencari sesuatu.
“coba deh kalian perhatikan, muka Bapak itu mirip dengan gambar yang ada di surat surat di dalam tas ini” kata Amel.
“benar juga mel yuk kita samperin” kata Riski. Mereka pun berjalan menuju Bapak Bapak tersebut.
“Assalamualaikum, pak” sapa Riski.
“walaikumsalam,” jawab Bapak tersebut.
“maaf pak menggagu, kelihatannya Bapak sedang mencari sesuatu” kata Riski.
“betul dek. Bapak sedang mencari tas Bapak yang hilang yang jatuh di sekitar sini.” kata Bapak tersebut.
“apa ini tas yang Bapak cari?” kata Riski sambil memperlihatkan tas yang ditemukan tadi.
Bapak itu pun melihat tas itu dengan teliti.
“betul dek. Dimana adek dapat?” Tanya Bapak itu.
“di situ pak” jawab Riski sambil menunjuk tempat yang tadi.
“Bapak berterima kasih pada adik-adik semua yang udah menemukan tas ini dan mengembalikannya pada Bapak. Kalau tidak ada adik-adik semua mungkin Bapak tidak tahu harus bagaimana” kata Bapak itu.
“sama-sama pak. Udah kewajiban kita untuk membantu dan mengembalikkan apa yang bukan hak kita.” Kata Riski.
“karena hati kalian bergitu mulia, tolong terima ini sebagai hadiah. Anggap aja ini rezeki dari Allah yang dititipkan oleh Bapak” kata Bapak itu sambil memberi berapa kertas.
“apa ini pak?” Tanya Riski.
“ini adalah tiket haji untuk delapan orang. Ini tidak seberapa dengan isi tas ini dan kebetulan perushaan Bapak sedang mengadakan haji gratis untuk seratus orang” jelas Bapak tesebut.
Riski dan teman-teman pun senang sekali dan tidak percaya. Seakan akan mereka berada dalam dunia mimpi. Terutama Riski yang akhirnya bisa mendapatkan apa yang menjadi impiannya. Bapak itu pun pamit setelah memberi tiket haji kepada Riski. Setelah mobil-mobil Bapak itu menjauh, mereka pun pun pulang dengan wajah dan suasana hati yang gembira. Sekaligus tidak sabar memberitahu berita bahagia ini pada keluarga mereka.
TAMAT
SUARA ULAT

SUARA ULAT

Aku sekolah di salah satu SMA ternama di Pontianak, yaitu di sekolah SMA 1 Pontianak, Aku orangnya simple, tidak pernah percaya jika tidak dibuktikan dan tidak ada buktinya, apa lagi untuk hal-hal yang tidak masuk akal. aku punya 3 sahabat, mereka Ardi, Nia dan Dimas. kami suka main teka-tekian, akan tetapi teka-teki yang nyata serta akurat jawabannya, alias bisa dibuktikan dan masuk di akal dalam pemikiran kami.
“eh budak aku punya tebak-tebakan” kata si ardi saat Aku beristirahat di kantin (budak adalah bahasa Pontianak yang arti nya teman-teman).
“mau nanya ape?” jawab Aku penasaran
“lebih sakit mane lah? kapas 1 kg atau besi 1 kg, kalo barang ini aku jatok kan di kaki kau?” tanya si Dimas
Aku dan teman-teman pun mulai berpikir keras, untuk jawaban yang benar-benar bisa diterima dan masuk akal.
“bentar lok ye” kata ku
“mau kemane kau?” tanya Nia
“bentar lok nda lama be” jawab ku sambil berlari menuju gudang sekolah
Aku berlari secepat mungkin kembali ke kantin saat aku sudah mendapatkan 4 ons besi yang Aku ambil di gudang sekolah, dan 4 ons kapas yang aku beli di supermarket depan.
“bawa ape tu joo?” tanya Nia heran, Joo itu adalah panggilan gaul kami berempat.
“Dimas sinik lok kau” kata ku, bersemangat
“hah, ngape ke?” Dimas menghampiri ku
Aku pun dengan semangatnya dan sangat penasaran apa yang akan terjadi jika Aku menjatuhkan kapas dan besi ini ke kakinya Dimas.
“alamak saket” teriak si Dimas saat besi dan kapas itu Aku jatuh kan di kakinya
Temen-temen ku yang lain pada heran dengan apa yang Aku lakukan, mereka tidak marah cuman mukanya masam saja, seperti macan yang mau menggigit karena rajanya disakiti.
“nah sekarang Aku udah tau dah jawabannye, lebih sakit mane besi atau kapas? Jawabannye lebih sakit kaki lah” kata ku sambil tertawa
“betol-betol” kata Ardi sambil tertawa, Nia juga ikut tertawa, tapi tidak untuk Dimas, ia masih mengosok-gosok kakinya yang kesakitan.
Sepulang sekolah kami berempat mampir ke rumah Nia untuk mengerjakan tugas kelompok, Aku pada saat itu sudah kebelet pipis, sudah ditahan sepanjang perjalanan tadi, dan saat ini sudah tidak mampu ditahan lagi, ku berlari cepat dan sekuat tenaga untuk mencapai toilet di rumahnya Nia.
“Minggir budak darurat ni” kata ku sambil mencopot sepatu dan melempari tas
Aku berlari cepat tangkas untuk sampai ke toilet yang Aku nantikan, Aku pun sampai di toilet Nia.
“aah leganye gak” Aku menghembuskan nafas lega
“aahhh”, teriak ku histeris
Panci di dapur Nia jatuh ke lantai dan membuat bunyi yang sangat cempreeng, panci itu jatuh karena disenggol Dimas yang buru-buru berlari mendengar teriakkan ku
“ade ape, ade ape?” tanya Nia cemas
“Ade pencuri ke?” sambung Dimas khawatir
“Mane pencuri nye, mane?” Ardi sambil mengempalkan tangannya
“ye, mane ade ape ape, Aku cuman tes tes suare jak” kata ku sambil menertawakan mereka yang hampir copot jantungnya
Aku saat itu lagi bosan mengerjakan PR matematika trigonometri, tidak ada satu soal pun yang bisa kami kerjakan, 2 jam lamanya kami hanya bisa melototin tugas itu tanpa menyentuh satu soal pun. Saat itu ketiga sahabat ku berbisik, entah apa yang mereka bisikkan, mata ku membesar saat pandanganku tertuju pada mereka. dan mereka juga balik membesarkan matanya kepadaku dan kami pun saling pandang-pandangan dengan mata seperti jengkol.
“naah” Nia membuat kaget
“ape?” tanya ku
“Aku dan budak-budak ni punye tebak-tebakan buat kau joo” sahut Nia ke Aku
“preet, paling tebakan nye gampang Aku tebak dan Aku buktikan” Aku menyepelekan mereka
“eets jangan salah kau ni, ini tebakan yang fenomenal dijamin kau tu nda bakal bise jawabnye” kata Ardi dengan ekspresi yang lebay
“hala kau ni, palingan 15 menit udah bise aku jawab dan aku bukti kan” sahut ku
“nah dengar ye pertanyaan nye: suare tokek kan “tokek tokek” suare kucing: “meong meong” suare anjing “guk guk guk guk” kalo suare ulat gimane?” tanya Dimas sambil ber tos dengan Nia dan Ardi
Pertanyaan ini bener-bener diluar akal sehat ku, gampang tapi susah untuk dijawab, satu dua tiga jam aku tidak dapat menjawab sampai temen-temen ku tertidur sambil membuat kolam di lantai.
“aaaaaahhh” teriakan ku membangunkan ketiga temen ku
“ade ape ade ape?” mereka terbangun dengan kaget
“aku jawabnye besok jak ye, pusing palak aku mirekan nye, nda masok akal, aku mau meneliti suara ulat lok” kata ku, sambil membereskan buku-buku ku dan pulang
Sebelum pulang ke rumah, Aku mampir ke kebun orang untuk mencari ulat, Aku bawa banyak ulat saat itu, Aku mulai meneliti tentang suara ulat. Aku bergadang dua hari dua malam tapi hasilnya nihil, ulat tidak pernah mengeluarkan suara sedikit pun, Aku hampir frustasi mencari jawaban teka-teki itu, baru kali ini teka-teki mereka tidak bisa Aku jawab dan Aku buktikan dengan akal. Tidak lama kemudian Aku mendengar suara dari dalam toples, Aku pun segera mendekatkan telinga ku ke tomples ulat.
“puuss” ya ampun ternyata suara ulat bunyinya “puss” Aku gembira sekali, tapi kok ada bau bau yang tidak sedap ya.
“yaelah kak, itu bukan suare ulat tapi kentut Kamek” kata adik ku sambil menertawakan Aku (kamek adalah Aku)
Aku tidak tau kapan adik ku ada di dekat ku malam itu, tiba-tiba saja muncul seperti Setan, datang tak dijemput, pulang tak diantar.
“waah kurang ajar kau ni, nda sopan, aku ni kakak kau, lebih tue, udah-udah pegi kau sana” Aku mengusir Adikku dari dalam kamar dan mengunci pintu kamarku
Aku tidak menemukan jawaban teka-teki dari temen-temen ku kali ini, Aku menyerah.
Di kantin
Setiap istirahat kantin ibu yeyen selalu ramai oleh murid-murid yang sedang makan. mungkin faktor ramai karena cuman ibu yeyen yang menyediakan menu makanan sedangkan kantin yang lain cuma es dan gorengan.
“macam mane? udah tau jawabnye?” tanya Nia yang sedang menyedot teh es
“kalo bise kau jawab dangan betol, aku bayarkan makanan kau ni” sahut Ardi dengan sombongnya
“aaah nda tahu aku, susah ah buktikan nye” jawab ku lesu
“gitu jak kau tak tau? Gampang bah, suare ulat itu: PUCUK PUCUK PUCUK” jawab mereka serempak dan kami pun tertawa bersama
SELESAI
AKU PETUALANG

AKU PETUALANG

Aku berdiri dengan tegap di depan pintu rumah. Bahan yang diperlukan sudah dibungkus Ibuku dengan baik menggunakan kain berwarna cokelat dan sudah melekat di punggungku. Kata Ibu ini benda berharga dan harus kujaga dengan baik. Aku menatap pedangku masih berkilauan dan tajam, segera kusarungkan lagi pedangku lalu kuikat di pinggangku. Hah! Perjalanan ini sangat berbahaya aku harus kuat menghadapinya. “Ibu, Ayah tolong doakan aku.” Aku menoleh dengan sedih menatap pintu rumah.
Aku pun lalu berjalan sambil melihat peta yang diberikan Ayah. Petanya kelihatan rumit. Hari ini pertama kalinya aku dipercaya orangtuaku melakukan tugas berat karena sudah dewasa. Aku berusaha sejeli mungkin melihat keadaan sekitar sambil memegang gagang pedang.
“Jaka, mau pergi ya?” suara teriakan berasal dari sebuah rumah.
Aku terkejut, ternyata yang memanggil adalah Bibi tetangga tidak jauh dari rumah. Aku segera tersenyum dan memberi salam dengan sopan.
“Ya Bibi. Saya mau pergi ke suatu tempat diberi tugas Ayah mengantarkan ini.” Kataku sambil menunjukkan kain coklatku.
“Ya ampun di luar kan berbahaya. Tahu tempatnya?” Bibi mendekatiku. Langsung kuberikan peta Ayah kepadanya.
“Wah ini jauh sekali. Jaka memang berani sekali” Kata Bibi sambil mengusap kepalaku.
“Tunggu sebentar.” Bibi masuk ke dalam rumahnya. Tak lama Bibi keluar sambil membawa bungkusan berisi ayam.
“Ini bawalah kau pasti lapar dalam perjalanan.” Aku segera berterima kasih dan setelah mengucapkan selamat tinggal aku melanjutkan perjalanan.
Aku menyusuri jalan setapak yang menurun. Oh, aku ingat jalan ini kalau tidak salah di dekat sini ada binatang buas. Aku segera waspada. Kukeluarkan pedangku dari sarungnya.
AAUWWW!!!
Suara raungan! Tanganku gemetaran kencang. Benar saja segerombol binatang buas sudah berkumpul di depanku, siap menyerangku. Apa yang harus kulakukan jumlahnya lebih dari satu. Jika saja cuma seekor aku bisa mengusirnya dengan pedang ini. Oh, iya aku punya ide. Kukeluarkan ayam dari Bibi, lalu kulemparkan sejauh mungkin. Lalu aku berlari sekencang-kencangnya meninggalkan para binatang itu yang berebut ayam. Óh. Syukurlah aku lolos, kadang otak memang lebih diperlukan daripada otot.
Aku melanjutkan perjalanan, kakiku sudah tidak bertenaga dan susah diajak berkerjasama. Kantong di pundakku sudah serasa lebih berat 2 kali lipat dari awal kubawa tadi. Tapi aku berjalan meski napas tersenggal-senggal. Godaan untuk beristirahat datang tapi aku harus tetap bersemangat karena rumah yang kutuju sudah dekat. Aku terus menyuri jalan sambil mengecek peta. Lalu aku melihat sesuatu yang tidak biasa di depanku.
Seorang raksasa berdiri di depan jalan tujuanku. Tinggi raksasa itu 3 kali lipat dari tinggiku dengan kumis dan jenggot tebal kusut karena tidak terurus. Dia membawa tongkat besar yang dipukul-pukulkan ke tangannya. Dia menyeringai melihatku seperti melihat makanan yang lezat. Apa yang kulakukan? Jika aku harus mengalihkan perhatian, ayamnya sudah habis. Terpaksa aku harus bertarung dengannya. Aku yakin aku lebih lincah dan gesit.
Aku mengambil ancang-ancang menyerang. Kutarik pedangku dari sarungnya. Dia berlari sambil mengarahkan tongkatnya kepadaku tapi segera kutangkis dengan pedang. Dia terus menyerangku dengan pukulan asal-asalan. Karena gerakannya yang lambat, aku berhasil menangkisnya dengan baik. Tapi kalau aku bertahan terus aku yakin akan kalah karena kelelahan. Aku menghitung dalam hati berapa detik yang dia perlukan untuk melancarkan serangannya. 5 detik! Setelah raksasa itu menganyunkan tongkatnya ke belakang aku segera menghindar ke samping, lalu menusuknya dari belakang.
ARGGHHHH!!!
Teriakan raksasa itu menyakitkan gendang telingaku. Aku segera mencabut pedangku. Sisa tenagaku lalu kupakai untuk berlari sekencang-kencangnya. Hufht! Aku berjalan terseok-seok karena kelelahan. Sampai akhirnya aku sampai di rumah yang kutuju. Kuketuk pintunya dengan lemas.
“Siapa? Oh, Jaka.” Iris, sepupuku, membukakan pintu.
“Mana Tante, Di..” Kataku kelelahan.
Aku lalu diantar ke dalam. Tante Di kegirangan melihatku.
“Jaka hebat. Jaka datang sendiri?” Tante Di lalu mengambil kain di punggungku. Kantong itu berisi baju oleh-oleh dari Ibuku dari luar kota.
Aku mengangguk kencang, langsung menyambar minuman dingin yang dibawa Mbak Iris dengan kedua tangan, lalu meminumnya sampai habis.
“Jaka di perjalanan tadi bertarung dengan binatang buas dan raksasa.” Kataku dengan sombong.
“Oh, benarkah?” mata Mbak Iris terlihat kagum padaku.
“Maksudnya anjing kompleks sama Pak Aji ya?” bisik Tante Di pada Iris.
“Ya, Pak Aji emang seneng main-main sama anak kecil. Hihihi” Iris berbisik sepelan mungkin pada Ibunya.
“Jaka kelas berapa sekarang?” Om Agus bertanya padaku tapi matanya tidak lepas dari TV.
“Nol besar Om.” Kataku bangga.
DISANALAH SEMUA BERAKHIR

DISANALAH SEMUA BERAKHIR

Ku susuri lorong belakang sekolahku, seusai jam kegiatan tambahan. Gelap menyelimutiku sore ini, membuat jantungku berdetak kencang. Bulu kudukku berdiri, mengingat betapa seramnya kisah masa lampau dari bangunan tua ini. Ya! Sekolahku memang dulunya milik belanda. Pintunya yang tinggi besar dengan arsitektur bangunan yang berlorong-lorong benar-benar berpadu, membuat nyaliku semakin ciut.
Aku sendiri di sini! Teman-temanku telah bergegas ke peraduan, sejak mentari masih menginjakkan kakinya tepat di atas bumi sekolahku. Hembusan angin yang masuk melalui celah-celah lorong di sini, membuat langkah kakiku semakin berat. Aku terus berjalan dengan sikap waspada, seakan ada sepasang mata yang sedang memperhatikanku. Sesekali ku arahkan pandanganku ke seluruh penjuru, namun hasilnya tak ku dapati apa-apa.
Psst!
Langkahku terhenti, sesuatu menabrak pikiranku. Darah dalam tubuhku, nyaris tak lagi mengalir. Air mukaku menggambarkan, betapa rasa itu mengusik otakku, Ya! Rasa takut itu semakin menghantuiku ketika kudengar sebuah suara memanggilku dalam kesendirian.
“Rea.. Rea?”
Hatiku menjerit. Suara siapa itu? Bukankah aku hanya seorang diri di sini? Singkat saja, ku putuskan segera mempercepat langkahku meninggalkan bangunan tua penuh misteri ini. Mulutku tak henti-hentinya berkomat-kamit membaca doa, mengiringi langkah kaku kakiku yang kian lama kian cepat. Napasku tertahan. Hatiku berdebar-debar. Keringat dingin bercucuran di tiap sisi tubuhku. Dari tempatku berdiri, ku dapati sesosok bayangan berambut panjang sedang berdiri di ruas lorong ini, di dekat jendela. Dari struktur tubuhnya, dapat ku pastikan bahwa ia seorang perempuan. Ia tinggi dan kurus. Sempat pandanganku jatuh pada gaun yang dipakainya, indah, anggun, kedua kaki perempuan itu tertutupi olehnya, ia seperti pejabat londo.
Mungkinkah ia yang memanggilku tadi? Ah, tapi siapa gerangan dia ini? Bukankah, aku hanya sendiri? Mataku telah berkelana, dan aku tidak menemukan siapapun, tadi. Ada rasa penasaran yang membersit dalam hati kecilku. Ah! Tapi, bisa apa aku? Aku pun perempuan! Nyaliku tak sebesar itu untuk memastikan semuanya! Pikiran-pikiran buruk kembali merasuki otakku. Bagaimana, kalau dia ini.
Akhirnya tiga per empat dari lorong ini telah ku susuri. Sejenak, ku hentikan langkahku untuk mengambil napas. Aku benar-benar terengah-engah. Ku sandarkan punggungku yang mulai terbasahi keringat dingin ke dinding besar di samping ruang karawitan. Bayang perempuan tadi masih terngiang-ngiang di kepalaku.
Ya Tuhan, siapa dia ini? Sepertinya baru kali pertama ini aku melihatnya. Apa dia penghuni bangunan tua ini? Aku pun tak melihat kakinya, tadi. Ah, iya! Kakinya! Di mana kakinya?
Aku teringat akan beragam cerita hantu yang biasa ku dengar. Penulisnya selalu mengatakan, hantu-hantu tersebut benar-benar tak bisa menyentuh tanah, mereka terbang. Kakinya seringkali tak terlihat.
Di tengah rasa penasaran yang membayangiku, tiba-tiba.. Ngiek!!
“Masya Allah!”
Aku tersentak. Mataku tertuju pada pintu di sisi dinding yang menyanggaku kala ini. Pintu ruang karawitan! Bagaimana bisa? Pintu besar yang telah lapuk dimakan waktu ini tiba-tiba terbuka. Jeritannya seakan semakin mengiris-iris nyali kecilku. Sontak, ku lemparkan pandanganku padanya. Ah! Tak ada siapapun di sana!
Belum hilang rasa takutku, sebuah bau harum berlari ke arahku, menyusul denyitan si pintu usang. Dingin! begitulah yang ku rasakan saat ini. Sendiri, di tengah lorong sekolah tua yang menyimpan jutaan cerita. Yang mungkin hari ini akan ku temukan jawabannya. Dari dalam sini, ku dengar hujan menurunkan amarahnya. Petir demi petir menggelegar bersahut-sahutan. Suara-suara tersebut berpadu dengan suara gamelan misterius yang seketika datang dari dalam ruang karawitan. Mereka berpadu, membentuk satu kesatuan instrumen inti yang setiap tekanannya menghasilkan irama yang begitu sempurna.
Mereka berhasil membuat seluruh tubuhku bergetar. Bahkan untuk berlari pun, rasanya tak ada sedikit pun energi yang masih tersisa, seluruh tubuhku layaknya digembok, aku tak mampu lagi. Diam. Hanya itu kalimat terakhir yang ku rasakan adanya. Aku tak bisa mengingat lagi kejadian setelahnya. Kepalaku sakit.
Saat kesadaranku kembali, hanya hangat yang ku rasa. Ya! Dingin yang menyelimuti sebelumnya, kini beralih menjadi rasa hangat yang begitu berarti, ini tak kan ku lupakan hingga nanti. Ku lihat tempat tidurku kini menjadi danau. Baunya yang pesing, sungguh menyiksa hidung. Memalukan, ternyata semua ceira panjang ini hanyalah mimpi yang berakhir pada sebuah danau air panas. Aku ngompol!
CERITA DARI SEORANG SAHABAT

CERITA DARI SEORANG SAHABAT

Selain gue memperkenalkan diri gue, gue akan memperkenalkan juga sahabat baik yang hanya satu-satunya yang gue punya yaitu Chikita Daniar. Pada suatu hari, dia ngajakin gue ngobrol di sebuah pendopo deket ruang guru -bayangin gimana rasanya diajak ngobrol cewek.
“Syarif, lo di mana?” tanya dia melalui sms.
“Gue di kelas. Kenapa emang?” tanya gue.
“Nanti kita ngobrol bareng yuk sepulang sekolah” ajak dia.
“di mana?” tanya lagi gue.
“Di pendopo dekat ruang guru” jawab dia.
“Ya udah” tanpa menggunakan emot atau semacamnya, gue ngerasa diri gue adalah orang paling cuek sedunia -bayangin coy dia kan sahabat baik gue. Iya gak apa-apa juga dari pada gue kerjaannya cuma tidur dan makan kayak pengangguran gitu, lebih baik gue ngobrol sama dia.
Setelah bel pulang sekolah berbunyi, gue langsung rapi-rapi dan segera menuju ke TKP. Pendopo dekat ruang guru. Jarak dari kelas gue ke pendopo dekat ruang guru hanya sekitar 3000, bukan 3000m tapi 3000cm yang setara dengan 30 m hehehe.
Sesampainya gue di pendopo itu, si Chikita masih belum datang. Sambil gue nungguin dia, gue nyanyi-nyanyi dengan riangnya.
“Indonesia tanah airku tanah tumpah darahku…”
Suka-suka gue nyanyi lagu apa aja, antara juga itu lagu nasional kita coy, kita mesti bangga masih punya lagu nasional -ceritanya lagi nasionalisme.
Di saat gue menyanyi Reff lagu “Indonesia Raya”, tiba-tiba Chikita datang dengan cara mengejutkan seperti biasa, duduk di samping gue dengan pandangan kosong ke depan sambil bilang “Halo Syarif” dengan nada datarnya itu. Coba aja kalau dia bukan sahabat gue, pasti udah gue gantung tuh bocah di bawah pohon beringin.
Sudahlah mari kita lupakan kejadian tadi. Nah sebelum dia ngobrol, dia mengajak gue ke kantin. Dalam hati gue yang berkata “Pasti dia mau traktir gue”. Tanpa pikir panjang gue langsung setuju menerima ajakan dia. Sesampai kita di kantin, dia langsung mengambil cemilan-cemilan serta makanan ringan dengan begitu banyaknya.
“Syarif, bayarin” ucap dengan mata yang berbinar-binar memohon kepada diri gue untuk dibayarin makanan-makanan yang ia beli.
“Asem, jadi malah gue yang traktir dia” ucap gue dalam hati dengan rasa kesal, kemudian gue ambil uang yang ada di saku untuk membayar semua makanan yang ia beli.
“Terima kasih Syarif” ucap dia dengan senyum yang sangat manis yang bisa membuat jutaan lelaki terpana. Gue serasa pengen guling-guling di rel kereta. Bukan karena senang, tapi karena kesal karena gue yang selalu mentraktir dia. Oke anggap aja gue lagi beramal.
Lupakan lagi kejadian di kantin tadi. Sekarang kita menuju kembali ke pendopo dekat ruang guru untuk mengobrol. Setibanya kami di sana, kami langsung duduk dan dengan enaknya dia makan tanpa menawari gue. Asem bener dah.
“Syarif, kita cerita aja yuk” ucap dia sambil asyik makan.
“Ya udah lo aja yang cerita” jawab gue dengan nada judes.
“Ah Syarif lo mah jahat” ucap dia dengan nada sok imut yang ingin membuat gue mencubit pipinya -bukan karena bercanda tapi karena kesal.
“Terserah dah” ucap gue dengan nada acuh tak acuh.
“Ya udah deh gue yang cerita” ucap dia dengan mulut penuh makanan.
Gue pasang telinga lebar-lebar alias mendengarkan secara seksama sambil berbaring tapi bukan untuk tidur. Dia memulai ceritanya dengan bertanya kepada gue.
“Lo bukan penakut kan Syarif?” Gue hanya diam dan berkata dalam hati “Buseng dah ini cewek benar-benar menghina gue banget tapi entah mengapa dia menjadi sahabat dan gue menjadi sahabat dia” tapi gak apa-apalah semua orang punya kekurangan.
“Lo tahu gak kalau dulu gue itu siswi teladan pas SMP?” tanya dia dengan menepuk dada tanda sombong.
“Gak” jawab gue dengan nada datar tak berirama.
“Ah lo mah jahat” ucap dia lagi dengan wajah sok imut.
“Sudah lo cerita aja” ucap gue dengan nada agak tinggi.
“Ya udah deh. Gue dulunya ketua OSIS beserta ketua dari 10 ekskul ketika SMP” ucap dia dengan suara yang lembut, selembut pohon kaktus.
“Apa? Serius lo?” tanya gue dengan terkejut.
“Iya gue serius” ucap dia dengan nada yang sangat meyakinkan.
“Oke gue cukup tahu aja” ucap gue dengan nada datar tapi sebenarnya iri karena kekuasaan dia yang begitu luar biasa.
Iya bayangin aja dia itu Puteri Sekolah 2013 -khusus di sekolah kita- dan finalis AMPOK -ABANG MPOK- KAB. BEKASI 2013, jadi lo bisa bayangin gak gimana sifat dia?
“Sebenarnya gue kangen diri gue yang dulu, yang sangat tegas” ucap dia dengan membangga-banggakan diri. Gue hanya diam seribu bahasa tanpa komentar dengan ekspresi gue yang begitu tercengang.
Kemudian dia melanjutkan cerita yang begitu tidak pentingnya buat gue -haha gue emang sahabat yang jahat tapi lupakan tentang sikap buruk gue. Dia menceritakan pengalaman dia yang sampai ribut dengan preman sekolah ketika SD yang gara-gara membela kejayaan wanita layaknya R.A. Kartini tapi versi kedua.
Gue ceritain nih ya bagaimana dia bisa ribut dengan preman sekolah. Dia gak suka temannya terus dicaci-maki dengan itu si preman sekolah, kemudian dia menolong temannya yang sedang dicaci-maki itu dengan berkata.
“Eh lo laki-laki bukan? Masa beraninya sama cewek doang. Dasar b*nci lu!!” Tidak terima dengan perbuatan Chikita, kemudia si preman sekolah itu menjawab.
“A*jing lu!!!” Kemudian Chikita membalas lagi dengan menodongkan sebuah cutter -pisau kecil-.
“Eh ngomong apa lo barusan? Ngomong sini di depan muka gue kalau lo emang berani. Ah dasar b*nci!!”
Setelah diceritakan itu, gue hanya bisa puji-puji dan dalam hati gue hanya bisa berkata.
“Gila ini cewek benar-benar luar biasa bahkan dia sampai berani menodongkan pisau” Oke dia berhasil membuat gue shock atau trauma berat karena cerita masa lalu dia ketika SD yang masih imut-imutnya anak kecil.
Selain cerita tadi, gue juga diceritain dia tentang tegasnya dia ketika menjadi ketua OSIS ketika dia masih sekolah di SMP. Jujur aja nih ya, sebenarnya cerita ini benar-benar gak penting buat gue, tapi daripada gue digerogoti rasa bosan sampai benar-benar ingin bunuh diri, dengan terpaksa gue mendengarkan. Biar gue aja yang ceritain. Jadi gini, ketika dia menjabat sebagai ketua OSIS ketika SMP, dia punya peraturan yang begitu ketat, mulai dari penegakkan disiplin yang sampai-sampai membuat gue enek dengerinnya.
Nah pada suatu hari, temannya itu terlambat datang ke sekolah, kemudian si Chikita ini bertugas menghukumnya. Nah temannya itu merayu Chikita supaya tidak kena hukuman. Tapi apa lo semua apa yang selanjutnya terjadi? Dia malah bilang gini.
“Eh lo kan mengakui gue sebagai teman lo kan? Seharusnya lo bisa menghargai gue sebagai teman lo mengikuti peraturan yang telah gue buat bukannya malah melanggarnya. Lo sama aja menghina gue secara tidak langsung” Mendengar pernyataan tersebut, teman Chikita yang terlambat tadi sampai-sampai menangis tersendu-sendu. Dalam hati gue berkata.
“Gile ini cewek benar-benar tegas”
Karena ketegasannya itu, dia membuat kontroversi dengan kebanyakan temannya dan juga dengan seorang guru PLH. Bagian ini sepertinya tidak perlu diceritakan karena benar-benar tidak penting menurut gue. Oh iya dia juga menceritakan tentang kecerdasannya sampai-sampai dia mendapat beasiswa di SMA. Coba bro -khusus laki-laki-, lo bayangin dia, tinggi langsing, cantik, calon model, cerdas, ekspresif -bisa baca puisi-, tegas, dan lain-lain yang masih banyak belum gue sebutin. Apa itu termasuk ke dalam kriteria cewek idaman lo gak bro? Hahaha. Itulah alasan gue mau jadi sahabat dia -licik ya gue.
Sudahlah mari kita lanjutkan ceritanya. Dia menjadi panutan 3 angkatan karena kecerdasannya dan sempat memenangkan olimpiade fisika tingkat kabupaten ketika kelas 7 atau kelas 8 entahlah gue lupa. Sampai-sampai ada guru yang terlalu membanggakan dia dan membandingkan dia dengan teman-temannya yang bisa membuat teman-temannya sakit hati tingkat tinggi. Sebelumnya lo tahu gak kenapa malahan jadi gue yang ceritain tentang dia? Karena dia malah jalan-jalan sama cowoknya -bukan pacar bukan juga gebetan- dan gue cuma duduk di pendopo sambil menceritakan cerita masa lalu dia kepada pacar gue, Rani Maharsi Khairunnisa.
Setelah dia selesai jalan-jalan dengan cowoknya -bukan pacar bukan juga gebetan-, dia mengajak pulang bareng dengan gue dan pacar gue. Padahal sih kita pulang bareng cuma sampai depan sekolah karena beda jurusan angkutan umum, Chikita naik angkot -angkutan perkotaan- nomor 38 untuk pulang -bukan pulang ibarat meninggal iya-, Rani naik angkot nomor 18 untuk pulang, sedangkan gue naik ELF untuk pulang. Sayangnya gue bukan penyihir berkelas yang bisa naik sapu terbang atau bukan pahlawan dari negeri dongeng yang naik pegasus -kuda terbang.
Sekian
GARA GARA

GARA GARA

Baru hari pertama masuk sekolah setelah MOS selama 3 hari aku sudah terlambat. Aku tidak akan menyalahkan siapa-siapa ataupun memberi banyak alasan kenapa hari ini aku terlambat karena memang seratus persen ini kesalahanku. Jemari Mama sampai bengkak–bengkak karena saking semangatnya mengetuk pintu membangunkanku. Dan sekarang aku kelihatan seperti orang bloon, menatap lurus ke arah pagar berharap pagar itu akan terbuka dengan sendirinya. Atau paling tidak, muka seram satpam itu berubah menjadi sosok Kim Bum yang bisa membuatku nekat melakukan apa saja, termasuk menciumnya, ups! Setelah beberapa menit menunggu di depan pagar, akhirnya aku dan rombongan siswa terlambat lainnya diizinkan masuk.
“Kalian ini! Belum ada siapa-siapa yang diurus malah terlambat. Lihat saya, anak 3, belum lagi suami sama mertua yang mau dibuatin sarapan. Bayangkan bagaimana saya bisa mengurus semuanya dan masih tetap datang tepat waktu ke sekolah!” omel Bu Tuti, guru piket yang bertugas memberi kami hukuman.
“Curcol nih ye” celetuk salah seorang Kakak kelas di belakangku. Muka Bu Tuti merah padam.
“Update status udah belum bu?” tambah yang lain. Bu Tuti langsung berkacak pinggang.
“Kamu! Tuh yang ngomong tadi, pel lantai koridor ruang guru, dan ruang kepala sekolah.” Lalu Bu Tuti tersenyum dengan puasnya. Dia sedang membayangkan betapa panjangnya koridor itu. Kakak kelas yang nyeletuk tadi pun jadi mati kutu dan pasrah saja.
Setelah pembagian tugas, ehem.. hukuman maksudnya, kami pun bubar dan berangkat ke spot masing-masing. Karena aku masih kelas 10, aku diberi hukuman yang paling ringan versi Bu Tuti: membersihkan wc. Hariku memang lagi sial. Dengan langkah gontai aku berjalan ke sarang nyamuk, lalat, kecoa dan tikus itu.
WC sekolah sangat kecil, tapi cukup besar buat dijadikan rumah kecoa. Saat masuk saja seekor tikus kencing di hadapanku. Tanpa rasa malu dan segan dia berlalu saja melewatiku kembali mengorek-ngorek tong sampah yang ada di sudut WC. Melihat itu aku jadi ingin balas dendam atas ketidaksopanannya. Aku akan mulai membersihkan WC ini dari tong sampah itu. Aku bawa ke luar dan aku buang di tempat pembuangan. “Welcome to the new house, rat!” Ujarku dalam hati.
Lantai berlumut dan menjadi tempat menepel bermacam-macam noda itu aku sikat sampai akhirnya kembali ke warna normal. Kemudian aku pel lantai itu menggunakan pewangi. Setelah semua beres, sepertinya malah aku yang perlu mandi. Aku ke luar dari WC dengan perasaan puas dan cape luar biasa. Bel habisnya 1 jam pelajaran berbunyi. Berarti aku sudah ketinggalan. Dengan buru-buru aku ambil ember bekas air pel, dan aku siramkan saja ke pohon yang tidak jauh dari situ. Saat aku berbalik mau ke kelas, ada suara cowok memanggilku. Bukan panggilan mesra, tapi marah. Dan hal itu membuatku kaget dan takut.
“Hoy!!! Sini kamu!! Yang megang ember!” teriaknya. Aku berbalik lagi, dan melihat dari jarak agak jauh, ada seorang cowok beridiri di sana. Sepertinya Kakak kelas. Dan dia basah kuyup?! Apa gara-gara…
“Eh! Sembarangan aja nyiram orang! Sini kamu!” aku berjalan pelan ke arahnya dengan wajah tertunduk.
“Maaf kak nggak sengaja” ujarku lirih. Kini aku tepat di depannya, tidak berani menegakkan mukaku. Hanya melihat sepatunya yang juga basah.
“Eh, lihat sini!” ia memegang kepalaku dan berhasil melihat wajahku yang ketakutan.
Aku pun akhirnya bisa melihat wajahnya yang basah. Dan saat itu, ada sesuatu yang berdesir di dadaku, dan angin sepoi pun sepertinya tengah membelai wajahku. Muka garangnya seketika hilang berganti senyuman. Lalu dia geleng-geleng kepala. Ops! Aku ingat dia! Sepertinya dia juga mengingatku.
“Ya Tuhan aku kira kesialanku berakhir di bioskop itu.” Komentarnya, lalu mundur selangkah, dengan mata terus menatap ke arahku.
Aku jadi salah tingkah, dan jadi teringat kembali kejadian minggu lalu. Saat aku ke bioskop dengan sepupuku, aku duduk di seat yang salah. Dan ternyata seat itu milik, em, aku baca dulu name tag-nya, Ka Ozi. Aku malah ngotot dan membuat keributan kecil hingga akhirnya mbak-mbak penjaganya datang dan ternyata seat aku ada di sebelahnya. Dan itu belum berakhir. Aku malah salah makan popcorn. Pop corn kak Ozi yang aku lahap, sedangkan dia hanya bisa menatapku dengan rasa tidak percaya. Aku cuek saja waktu itu karena merasa itu popcorn-ku. Dan ternyata dia Kakak kelasku.
Aku lihat lagi kak Ozi yang masih berdiri di depanku. Mukanya tidak menyeramkan lagi. Tapi pastinya mukaku yang sudah berubah seperti kepiting rebus.
“Maaf kak. Aku nggak tahu kalau ada orang di sana.” Dia tersenyum! Tuhan indahnya ciptaanmu yang satu ini. Dag-dig-dug jantungku menunggu reaksinya.
“Kamu harus tanggungjawab! Jangan cuma minta maaf aja.” Jawabnya datar. Glek! Aku harus gimana dong?
“Ia Kakakku mau tanggungjawab. Aku harus gimana?” ujarku pasrah. Aku pasang wajah menyesalku setotalnya. Dia diam sejenak. Dan itu membuatku makin tidak tahan untuk tidak melihat wajahnya. Ternyata kegantengannya tidak terhapus oleh air pel yang kusiram.
“HP kamu mana?” aku mengeluarkan HP-ku dan memberikan padanya karena ia mengulur tangannya.
Beberapa detik ia mengetikkan sesuatu di Hp-ku, dan kemudian ia kembalikan.
“Nih, hp kamu. Kalau kamu memang mau tanggung jawab, nanti siang kita makan di luar bareng! Em, berdua! Nomor kamu udah aku simpan, kok!” dia berlalu dengan cueknya sedangkan aku masih melongo di tempat, berusaha mencerna kata-katanya.
“Haaahh? Aku bayar tanggung jawabku dengan sebuah kencan?”

Selasa, 30 Desember 2014

Bukti bahwa ibu lebih penting daripada istri

Bukti bahwa ibu lebih penting daripada istri

Ngocol ajaPada sebuah arena Pekan Raya Jakarta (PRJ), ada seorang pria yang kehilangan istrinya karena terpisah di tengah keramaian suasana. Kemudian ketika pria tersebut sedang mencari istrinya, ia bertemu dengan seorang anak kecil yang sedang terpisah dan mencari-cari ibunya.
Akhirnya, mereka sepakat untuk sama-sama mencari.

Pria itu bertanya kepada si anak, “Lho, ayahmu emang nggak ikut?”

Si anak menjawab, “Ayah sudah meninggal tahun lalu”

Si pria merasa kasihan pada si anak, kemudian ia bertanya lagi, “Ibumu ciri-cirinya seperti apa nak?

Si anak menjawab, “Ibu saya tingginya 170cm, kulitnya putih, badan langsing, pakai rok mini dan seksi, wajahnya mirip Sophia Latjuba, bagian dadanya seperti Julia Perez, dan ibu memakai sepatu yang hak-nya agak tinggi kaya’ Jennifer Lopez”

“Hahh, apa..?”, spontan si pria menjawab pertanyaan mengenai ciri-ciri ibunya yang baru saja ia lontarkan.

“Kalau istri Om seperti apa?”, tanya si anak kecil kepada pria tersebut.

Lalu, pria itu langsung menjawab, “Sudahlah kalau begitu, lupakan istri om. Ayo, kita cari ibumu dulu nak!”